Dolar AS Tertekan Lagi, Nilainya Terjun ke Level Terendah Tahun Ini
socialbali.com – Dolar Amerika Serikat (AS) kembali menunjukkan pelemahan yang signifikan. Mata uang yang selama ini jadi tolok ukur kekuatan ekonomi global itu, kini berada di titik terendah sepanjang 2025. Banyak analis menilai bahwa tren ini merupakan respons pasar terhadap kebijakan moneter terbaru dari The Federal Reserve (The Fed), serta dampak dari sejumlah faktor eksternal lainnya seperti ketegangan geopolitik dan melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia.
Pelemahan ini bukan yang pertama terjadi tahun ini, tapi kali ini cukup mengejutkan karena kejatuhannya menyentuh titik terendah sejak Januari 2025. Para pelaku pasar mulai berspekulasi bahwa tren penurunan dolar AS ini akan membuka jalan bagi mata uang lain, terutama dari negara berkembang, untuk menguat sementara.
Apa sebenarnya penyebab dolar AS tertekan lagi? Bagaimana dampaknya terhadap perekonomian Indonesia dan global? Simak ulasan lengkap berikut ini.
Faktor-Faktor yang Membuat Dolar AS Tertekan
Pelemahan dolar AS bukan sekadar fluktuasi biasa. Ada berbagai faktor yang berkontribusi secara bersamaan dan membuat tekanan terhadap mata uang tersebut menjadi sangat nyata di pertengahan 2025 ini.
Kebijakan The Fed yang Terlalu Hati-Hati
Salah satu penyebab utama dolar AS tertekan adalah kebijakan moneter The Fed yang kini cenderung lebih dovish. Dalam beberapa pernyataan resmi, Gubernur The Fed menyatakan keengganannya menaikkan suku bunga secara agresif dalam jangka pendek. Hal ini menimbulkan sinyal bahwa suku bunga acuan tidak akan memberikan daya tarik lebih besar bagi investor global yang biasa menggantungkan diri pada yield dolar AS.
Akibatnya, para investor mulai mengalihkan aset mereka ke mata uang lain dan instrumen keuangan yang lebih menjanjikan. Ini otomatis membuat permintaan terhadap dolar AS menurun, sehingga nilai tukarnya ikut melemah.
Ketegangan Geopolitik yang Berlarut-Larut
Isu geopolitik juga memainkan peran besar dalam menekan dolar AS. Ketegangan antara Tiongkok dan Taiwan yang belum mereda, ditambah konflik yang terus berlangsung di Timur Tengah, membuat para pelaku pasar enggan mempertaruhkan aset mereka dalam denominasi dolar. Mereka justru mulai mencari mata uang yang dianggap lebih stabil di tengah kondisi geopolitik tidak menentu.
Situasi ini menyebabkan volatilitas tinggi pada pasar uang global, dan dolar AS, yang biasanya menjadi safe haven, kali ini justru kehilangan pamornya karena respons The Fed yang lambat.
Melemahnya Data Ekonomi AS
Data ekonomi terbaru dari AS menunjukkan perlambatan di berbagai sektor, mulai dari penjualan ritel, sektor manufaktur, hingga angka tenaga kerja. Penurunan ini menciptakan kekhawatiran akan potensi resesi ringan, meskipun belum ada sinyal resmi dari pemerintah AS.
Kombinasi antara data ekonomi yang lesu dan tekanan global membuat dolar AS semakin tak menarik bagi investor. Hal ini memperkuat spekulasi bahwa tekanan terhadap mata uang ini masih akan berlanjut.
Dampak Pelemahan Dolar AS terhadap Indonesia
Turunnya nilai dolar AS bukan cuma berdampak di dalam negeri Amerika, tapi juga memicu efek berantai bagi banyak negara lain, termasuk Indonesia. Ada beberapa sektor yang terdampak langsung dan tidak langsung akibat pelemahan ini.
Rupiah Menguat, Tapi Perlu Diwaspadai
Salah satu dampak positif yang dirasakan Indonesia adalah menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar. Dalam beberapa hari terakhir, rupiah tercatat menguat hingga menyentuh angka Rp15.100 per dolar AS, yang merupakan posisi terkuat sejak awal tahun.
Namun Bank Indonesia (BI) tetap mewanti-wanti agar penguatan ini tidak disalahartikan sebagai tren jangka panjang. Karena jika terlalu cepat, penguatan rupiah bisa berdampak negatif terhadap ekspor Indonesia yang masih bergantung pada nilai tukar kompetitif.
Harga Komoditas dan Impor Turun
Pelemahan dolar AS juga menyebabkan harga komoditas global seperti minyak, emas, dan batu bara cenderung turun dalam jangka pendek. Hal ini bisa jadi berkah bagi sektor industri Indonesia yang tergantung pada bahan baku impor, karena biaya produksi menjadi lebih murah.
Namun di sisi lain, negara pengekspor komoditas seperti Indonesia juga perlu waspada karena turunnya harga bisa menekan pendapatan negara dari sektor ini.
Potensi Kapitalisasi Pasar Saham
Investor asing mulai kembali melirik pasar saham negara berkembang seperti Indonesia karena pelemahan dolar AS membuka peluang capital inflow. Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat peningkatan transaksi asing dalam dua pekan terakhir, yang sebagian besar ditopang oleh sektor perbankan dan infrastruktur.
Hal ini membuka harapan bahwa IHSG bisa kembali menguat jika tren ini bertahan dalam beberapa bulan ke depan. Tapi semua ini masih bergantung pada perkembangan pasar global dan kebijakan moneter AS selanjutnya.
Respons Pemerintah dan Pelaku Ekonomi Indonesia
Pemerintah Indonesia cukup sigap dalam merespons situasi ini. Kementerian Keuangan bersama Bank Indonesia terus memantau dampak dari pelemahan dolar AS terhadap stabilitas makroekonomi nasional.
Bank Indonesia Siapkan Langkah Antisipatif
Bank Indonesia menyatakan siap melakukan intervensi bila volatilitas nilai tukar rupiah dianggap berlebihan. Meski penguatan rupiah menguntungkan di sisi impor, BI menekankan bahwa stabilitas tetap menjadi prioritas utama.
Langkah-langkah seperti operasi moneter, pengelolaan devisa, dan kebijakan suku bunga akan terus disesuaikan untuk memastikan pasar tetap tenang dan investor tetap percaya diri.
Dunia Usaha Diminta Adaptif
Pelaku usaha di Indonesia, khususnya eksportir dan importir, juga diimbau untuk mengantisipasi perubahan tren ini. Bagi eksportir, penurunan dolar berarti berkurangnya margin keuntungan, sementara importir bisa memanfaatkannya untuk efisiensi biaya.
Pemerintah melalui KADIN (Kamar Dagang dan Industri) pun telah mulai memberi arahan agar dunia usaha memperkuat cadangan devisa dan melakukan lindung nilai (hedging) jika diperlukan.