Heboh Kenaikan PBB di Pati: Warga Resah dan Protes Meluas
socialbali.com – Kebijakan Pemerintah Kabupaten Pati menuai reaksi keras. Baru-baru ini, publik dikejutkan dengan keputusan Bupati Pati yang menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250%. Kenaikan drastis ini bukan hanya mengejutkan, tetapi juga memicu gelombang protes dari berbagai kalangan masyarakat, terutama warga menengah ke bawah yang merasa keberatan.
Gelombang penolakan pun tak terbendung. Dari media sosial hingga jalanan, suara kekecewaan terus digaungkan. Warga merasa pemerintah daerah kurang peka terhadap kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi. Banyak dari mereka menganggap kebijakan ini tidak manusiawi dan cenderung semena-mena.
Kondisi ini akhirnya memunculkan aksi demonstrasi di beberapa titik strategis di Kabupaten Pati. Massa yang turun ke jalan membawa spanduk bertuliskan penolakan terhadap kenaikan PBB, menuntut transparansi, dan meminta pemerintah daerah mencabut kebijakan tersebut.
Alasan Pemkab Pati Naikkan PBB: Menambal Defisit APBD?
Pihak Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pati mengklaim kenaikan ini dilakukan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Menurut pernyataan resmi Bupati, ada kebutuhan mendesak untuk menutup defisit APBD 2025 yang kian mengkhawatirkan.
Sayangnya, langkah ini justru dianggap tak seimbang dengan daya beli masyarakat. Beberapa pengamat ekonomi lokal menyebut kebijakan ini terlalu ambisius dan tidak didasarkan pada riset sosial yang memadai. Mereka mengusulkan agar pemkab mencari alternatif pembiayaan lain daripada membebani rakyat secara langsung.
Selain itu, Pemkab menyebutkan bahwa PBB di Kabupaten Pati belum pernah disesuaikan sejak 10 tahun terakhir. Namun, tetap saja, angka kenaikan hingga 250% dinilai sangat ekstrem dan tidak realistis, apalagi tanpa proses sosialisasi yang memadai kepada publik.
Reaksi Masyarakat dan Tokoh Lokal: Ketidakadilan yang Menyakitkan
Tokoh masyarakat dan LSM di Pati pun turut angkat bicara. Beberapa menyebut kebijakan ini sebagai bentuk ketidakadilan fiskal. Sejumlah warga menyampaikan, bahwa sebelumnya mereka hanya membayar PBB di kisaran Rp 50.000 per tahun, kini melonjak menjadi lebih dari Rp 150.000.
Kondisi ini makin parah bagi warga yang tinggal di desa-desa pinggiran yang mayoritas berpenghasilan rendah. Bahkan banyak dari mereka yang kini terpaksa menjual aset kecil demi melunasi PBB, atau terancam terkena sanksi administratif akibat keterlambatan membayar.
Demonstrasi besar yang berlangsung di halaman kantor Bupati juga diwarnai oleh orasi tajam, termasuk permintaan agar kebijakan ini ditinjau ulang. Beberapa pihak bahkan mengancam akan melayangkan gugatan hukum jika Pemkab tetap bersikeras menjalankan kenaikan pajak tersebut.
Alternatif Solusi dari Pakar Ekonomi Lokal
Menurut pakar fiskal daerah dari Universitas Muria Kudus, ada beberapa solusi yang bisa ditempuh oleh Pemkab tanpa harus menaikkan PBB secara ekstrem. Di antaranya adalah peningkatan efisiensi belanja daerah, pemotongan anggaran yang tidak produktif, serta optimalisasi pendapatan dari sektor usaha milik daerah (BUMD).
Selain itu, pemerintah juga seharusnya membuka ruang dialog bersama masyarakat untuk mencari solusi bersama. Pendekatan partisipatif dinilai lebih efektif dalam menjaga stabilitas sosial dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Kenaikan pajak yang tidak dibarengi dengan peningkatan layanan publik hanya akan menambah ketimpangan. Karena itu, transparansi penggunaan dana dari hasil kenaikan PBB pun sangat diperlukan agar tidak menimbulkan kecurigaan publik.
Pemerintah Mulai Melunak? Evaluasi dan Dialog Dicanangkan
Di tengah derasnya kritik dan tekanan publik, Bupati Pati menyatakan akan melakukan evaluasi terhadap kebijakan tersebut. Dalam jumpa pers terbaru, ia mengatakan pihaknya akan mengkaji ulang dasar perhitungan tarif PBB dan mempertimbangkan masukan masyarakat.
Langkah ini dianggap sebagai sinyal positif, meskipun belum ada keputusan konkret terkait pembatalan kenaikan PBB. Beberapa tokoh berharap dialog terbuka segera dilakukan agar ada titik temu antara kebutuhan daerah dan kemampuan bayar masyarakat.
Pemkab juga menyampaikan rencana untuk memberikan insentif atau relaksasi pembayaran bagi kelompok rentan, termasuk warga lansia dan masyarakat berpenghasilan rendah.